Manusia Era Wall-E
Awalnya gemes, kemudian sedih…
Mendengar tentang ………
seorang guru yang dipindahtugaskan jadi penjaga perpustakaan
karena pernah menjewer muridnya yang bandel. Padahal guru killer inilah yang “memaksa”
muridnya disiplin, dan membentuk karakter anak untuk berjuang, bukan selalu
minta diperjuangkan.
Melihat dengan mata kepala sendiri tentang …….
Seorang pelatih basket yang dimaki-maki anak didik basketnya
yang masih SMP karena timnya kalah. Si anak ini menangis, menjerit, gusar,
marah, dan ingin memukul si pelatih yang dianggap tak becus, dianggap bikin
timnya kalah. Lalu anak ini histeris, tak mau menyalami lawan mainnya,
tersenyum pun tidak. Malah menghina-hina dalam dendam. Mungkin selanjutnya, dia
bisa saja lapor orang tuanya minta si pak pelatih dipecat.
Gemes. Kenapa sih ada anak-anak seperti itu, yang manja,
gampang kalah dengan ego, berjuang hanya demi ambisi, tidak mau dibentuk, dan
selalu menyalahkan keadaan. Kenapa sih, guru sekarang menjadi bahan bully
murid-murinya yang dikit-dikit lapor ke orang tua kalau gurunya keras. Dan gemesnya
lagi, orang tua lebih suka anaknya senang ketimbang anaknya belajar menjadi Spartan.
Sedih. Aku jadi ingat manusia-manusia bulat yang ada di
Wall-E. Manusia terbiasa dengan segala sesuatu yang disediakan, nggak ada
effort, nggak punya kemauan, nggak punya empati, dan komunikasinya cuma berisi
perintah-perintah. Ya karena sedari kecil dibiasakan begitu, mendapatkan tanpa berusaha, cuma mau menerima yang sesuai dengan ekspektasi. Sutradara yang jenius, dan aku merinding because it’s begin now, melihat generasi selanjutnya dan selanjutnya lagi.

No comments: