Janc*k, Umpatan Sadis yang Legendaris
Denger kata Janc*k di masyarakat Surabaya ibaratnya udah seperti denger kicauan burung di hutan belantara. Udah lumrah banget, dan malah terasa ada yang aneh kalau sama sekali nggak denger. Di sela-sela obrolan dan candaan sampai di tengah emosi yang naik ke ubun-ubun, janc*k jadi kosakata favorit, yang biasanya faseh banget dikalangan kaum adam. Gak selalu identik dengan kalangan bawah, mahasiswa pun sering juga mengumpat ini.
Nggak terkecuali lho ya, Beswan Djarum Surabaya juga sering begitu, he he. Dan kadang kalau pergi Silatnas, DTL atau Outbond virus ini disebarkan ke temen-temen beswan lainnya. Ah, Djarum Beasiswa Plus emang mendukung buat bertukar budaya ya.
Arek Suroboyo dan Tugu Pahlawan
Arek Suroboyo dan Tugu Pahlawan
Tengokin Sejarahnya
Menurutku umpatan asli Suroboyo ini kreatif dan punya kemungkinan didukung WWF. Kenapa? Soalnya Janc*k nggak bawa-bawa hewan-hewan tak berdosa untuk mengumpat, misalnya Jangk*ik, Anjing, Babi dan sanak sodara mereka lainnya. Tapi dari mana asalnya “kekreatifan” kosakata ini? Hmm, sampai sekarang kepastian sejarahnya belum ada. Yang jelas umpatan ini udah lama bercokol jadi “ikon” bahasa di Surabaya, bahkan sejak jaman penjajahan, bahkan udah jadi budaya. Klaim sejarahnya banyak, versi-versinya seperti ini nih :
- Versi Kedatangan Pedagang Arab : Konon Janc*k berasal dari kata Da’Suk. Da’ artinya meninggalkanlah kamu, trus assyu’a artinya kejelekan, digabung menjadi Da’Suk yang artinya tinggalkanlah keburukan. Tapi dasar logat dan mulut arek Suroboyo nyeplos seenaknya sendiri, jadilah Janc*k.
- Versi Penjajahan Belanda : Denger-denger anak gaul Indo-Belanda 1930-an punya bahasa gaul juga, yaitu yantye ook yang artinya ‘kamu juga’. Kata-kata mereka ini diplesetkan sama arek-arek Suroboyo pribumi jadi yanty-ok, yang dasar sekali lagi lidah-itu-identitas, kedengerannya jadi Janc*k yang sering terdengar sekarang. Kata ini jadi bahan olok-olokan arek pribumi, berkembanglah jadi umpatan.
- Versi Penjajahan Jepang : Hmm, susah menelusurinya, cuma versi ini menyebutkan berasal dari kata Sudanco. Aku cari di buku sejarah, artinya sih komandan peleton. Apa hubungannya? Hmm, mari menerka, apa karna tiap ada bom prajurit yang ketakutan jejeritan ke komandannya, danccooo!! Suatu kali kelepasan jadi danc***k, nah loh siapa yang tau.
- Versi kampung palemahan : Sebagai kampung tertua di Surabaya, palemahan punya klaim sendiri bahwa kata ini asli lahir dari kampung ini. Janc*k adalah akronim dari Marijan Ngen**k. Marijan adalah warga palemahan yang doyan free seks. Tahu sendiri kan hubungan bebas seperti itu boso suroboyoane ngec*k. Pendapat ini bisa diterima dilihat dari oral history-nya
Dari empat versi ini yang bener yang mana, belom ada yang tahu secara pasti. Karna penulusurannya butuh kajian etnolinguistik, athropology bahasa dan ilmu semacamnya. Yang jelas umpatan ini emang berasal dari Surabaya dan jadi terkenal seantero nusantara, wehehe. Uniknya, kalau orang nggak tinggal lama di Surabaya, kalau misuh janc*k jadinya malah lucu, hi hi.
Bukan Umpatan Biasa
Janc*k dari awal punya stigma negatip sebagai kata-kata jorok, yang artinya kurang lebih sama dengan f*ck. Bahkan motherf*ckers punya padanan kata mbokne’anc*k. Huss, huss, jangan keras-keras bacanya, Aku nggak ngajarin misuh lho. Tapi apa umpatan ini digunakan hanya untuk mengolok-olok, marah-marah, atau hal negatif lainnya? Oho, enggak! Janc*k itu unik, maknanya beda-beda sesuai penggunaannya. Langsung cekidot contohnya, tapi dengan sensor ya :
MARAH : He, *tiiiiit* ojok adu domba konco koen!!
KAGET : [Ada suara mercon], aduh jan*tiiit*, kaget aku. Sopo nyumet mercon.
KAGUM : wuik, jan*tiit* ayune arek iku mauu.. sayang,c*k wes duwe gandengan
SAPAAN : Woe, yo’opo kabare c*k? Suwe nggak ketemu kon, c*k
MENGHINA : Walah garapanmu koyo janc*kan ae, sombong setegah mati.
BERCANDA : wuahahha, mati ae c*k koen, guyonanmu nggak umum, ha ha ha.
IMBUHAN tanpa MAKNA : Iyo, c*k. wetegku mules, c*k. Kakean sambel aku mau, c*k penyetane.
Masih banyak banget deh, kata ini muncul di konteks-konteks yang berbeda di lingkungan masyarakat. Kok bisa ya, umpatan bisa dipakai dimana-mana gini? Dan tergantung konteks juga, kuping orang jadi risih, tersulut emosi, atau justru jadi tambah gayeg. Apakah ini bentuk apresiasi masyarakat sehingga melestarikannya?
Tanya pakar yuk, kebetulan aku ketemu waktu ada Seminar Janc*k di Fakultas Ilmu Budaya, Unair.
Puji Karyanto, S.S.,M.Hum – dosen Prodi Sastra Indonesia, Unair
aku : Pak, kenapa kok Janc*k bisa macem-macem gitu pakainya, kan itu umpatan pak?
Pak Puji : sebenernya kata itu kan bebas nilai, terciptanya makna hanya berdasarkan kesepakatan bersama. dan makna itu dapat mengalami perubahan ameliorasi ataupun peyorasi. Janc*k juga begitu, tergantung penggunaannya dalam konteks seperti apa.
AKU : Dari bermacam-macam itu, bisa dijelaskan ngnggak pak secara akademis, kata Janc*k dan penggunaannya?
Pak Puji : Menurut saya, Janc*k bisa digolongkan dua macam. Sebagai umpatan itu tadi, yang mengekspresikan marah, kecewa, dan lumrahnya penggunaan umpatan, yang kedua juga sebagai ekstase.
aku : Apaan tuh pak ekstase?
Pak Puji : Lugasnya sih kata yang diucapkan karna tidak ada padanan kata lain, dan bisa bikin plong karna ada kenikmatan psikologi. Itu sebabnya, arek suroboyo iku senengane ngasih imbuhan c*k di kalimatmnya. Contoh lainnya, misalnya ayu banget tapi lebih dari ayu banget itu apa, tidak tahu, maka arek-arek bilang “Uayune c*k arek iku“. Kira-kira begitulah, sama halnya ketika kaget atau bercanda.
aku : Arek Suroboyo hobi misuh seperti ini pak, he he. Menurut bapak Janc*k itu gimana sih?
Pak Puji : Dilihat dari sisi lain selain itu adalah sekedar kata-kata. Janc*k sudah jadi potret kecil identitas lokal Surabaya. Arek suroboyo, bangga sekali dengan janc*k yang jadi simbol keakraban. Ada heroisme lokalitas yang terkandung didalamnya. Namun harus diingat, ini adalah persoalan nilai. Harus bijaksana dalam penggunaannya, tahu tempat, waktu dan dengan siapa kita berbicara.
WARNING : Soal dosa-nggak-dosa kalau misuh, jangan tanyakan aku Tanyakan pada yang berwenang*.
*Yang berwenang bukan selalu polisi
Gambar Ilustrasi si Boyo Digdoyo dan si Suro, animasi ciptaan Cak Ikin yang khas dengan jancuknya.
Foto pakar difoto puspita
artikel ini pernah dimuat di edisi cetak Provoke! Magazine Surabaya


No comments: